Sabtu, 16 Januari 2010

hei anak ITB, yakin mau jadi entrepeneur ?

Prolog :
entrepeneur di sini, lebih mengarah ke bidang bisnis.

Sekarang ini, banyak sekali yang mendewa-dewakan yang namanya entrepeneur. Banyak yang bilang, kalau jadi entrepeneur kita akan lebih nyaman, bisa bantu orang lain dapet kerjaan, tidak disuruh-suruh, dan lain sebagainya. Oleh karena euforia itu, banyak sekali pelatihan-pelatihan mengenai entrepeneur ini, atau bisa juga diselipkan di sebuah diklat, kaderisasi, ceramah, dan lain sebagainya. Namun, apakah pilihan untuk menjadi entrepeneur ini sudah tepat ? Ini saya berikan beberapa pertimbangannya.
1. Seorang entrepeneur, harus memulai usahanya dari bawah. Dari nol. ini akan menjadi sebuah hal yang sulit. Apalagi untuk manusia-manusia bermental instan. Memang, jika kita memulai dari hal kecil, kita akan dapat feel-nya. Itu konon. Dan saya juga setuju. Namun, apakah kita bakal kuat memulai dari awal itu? apalagi di jaman krisis kepercayaan ini. Wedew...
2. Sebagai mahasiswa ITB, yang katanya paling mendewa se-Indonesia, kita dicekoki dengan banyak ilmu, dan itu sudah terfokuskan. Yang elektro ya belajar elektro, yang teknik kimia ya belajar teknik kimia, dan seterusnya. Nah, seandainya, banyak mahasiswa ITB jadi pebisnis, siapa coba yang mau menggantikan posisi-posisi yang seharusnya anak ITB tempati? Apalgi kalau kita bisnis di bidang yang semua orang bisa lakukan, makin dosa aja kita.
3. Kita ini, terlalu bermimpi mengawang-awang. Kita terlalu bermimpi se-akan-akan, semua hal di entrepeneur itu merupakan tantangan. Iya kalau bisa. Kita terlalu dicekoki dengan kisah sukses para pebisnis. Sekarang, coba hitung berapa kemungkinan sukses yang usahanya kita mulai dari nol? Coba liat pebisnis yang gagal lah minimal.

Mungkin itu hanya beberapa saja pertimbangan.

Nah, mengkritisi tanpa memberi solusi adalah sampah. Berikut saya berikan beberapa saran dari saya.
1. Jadilah entrepeneur di bidang yang anda geluti. Buat apa negara mensubsidi kita untuk kuliah di jurusan yang kita pilih, jika kita "berkhianat" dengan ilmu kita?
2. Jangan berbisnis sebagai distributor produk dari luar negeri. Hal ini sangat menyiksa produsen dari dalam negeri dan menghambat pertumbuhan ekonomi di dalam negeri. Labih parahnya, kita hanya akan jadi konsumen sepanjang masa.
3. Sebaiknya, jadilah produsen yang baik. ada banyak lahan usaha yang bisa kita kuasai di dalam negeri. Misal saja, pintu geser otomatis di mall. Asal tahu saja, pintu itu dihargai 40 juta. Dan, sebenarnya anak Indonesia mampu untuk membuatnya, apalagi anak ITB. Tapi, ironisnya, pintu semacam itu disikat orang Australia. Sekarang, siapa yang salah? Belum lagi masalah Freeport atau blok Cepu.
4. Walaupun tidak menganjurkan berbisnis ria, tapi jangan pula mengabdi pada perusahaan asing. Memang, hanya orang naif saja yang menolak bekerja dengan gaji luar biasa besarnya. Bekerja di perusahaan asing, boleh-boleh saja. Asal, jangan lama-lama. Mending, kerja selama 3-5 tahun, lalu keluar setelah menyerap ilmu. Di sini, ilmu kita akan ada gunanya. Nah, setelah keluar dari perusahaan, lakukan saran nomer satu di atas...

Jadi, jangan lah terlalu berfikir bahwa entrepeneur adalah jalan hidup paling hebat. Janganlah munafik. Hidup ini berat crut...

epilog : Jangan telan mentah-mentah semua informasi dan saran yang masuk ke kita. Berfikirlah sebaliknya. Jangan mudah percaya dan terpengaruh. Berlaku untuk postingan kali ini juga...

2 komentar:

  1. Aku meh usaha dadi petani telo & singkong. nduwe tanah ra sun? meh melu investasi pora?

    BalasHapus
  2. ayoo...
    butuh berapa hektar?

    aku juga pengen melestarikan tanaman asli indonesia

    BalasHapus