Selasa, 19 Januari 2010

Calo = Agen Perjalanan yang ilegal atau Agen perjalanan = Calo yang dilegalkan ?

Baru-baru ini saya melakukan perjalanan dari Bandung ke Jogja, dengan menggunakan kereta api ekonomi. Saat saya masuk stasiun Kiara Condong, saya dihampiri seseorang yang menawari saya tiket duduk. Yah, inilah yang biasa orang sebut Calo. Karena tiket yang tersedia tinggal tiket berdiri, maka saya putuskan untuk beli tiket dari calo tersebut. Hal ini saya ambil berdasarkan perhitungan. Dalam waktu yang cukup lama, saya harus berdiri dengan resiko kelelahan yang cukup besar dan selanjutnya resiko kehilangan barang  bawaan yang cukup besar juga. Jika dibandingkan dengan tiket yang lebih mahal 9 ribu, maka saya rasa itu cukup adil. Sekedar informasi, tiket normal dijual seharga 26 ribu, sementara si calo menjual 35 ribu. Sehingga, kalau dipersentasekan, 9ribu/26ribu = 35%

Kemudian saya teringat suatu hal. Dulu, saya juga pernah membeli tiket travel di sebuah agen perjalanan. Dan selisih yang saya harus bayar adalah 25 ribu. Dengan fasilitas hanya kemudahan membeli tiket. Walaupun tidak terlalu signifikan. Memang, kalau dipersentase, kenaikan harga dari agen tersebut sekitar 25ribu/150ribu = 16%.


Sekarang, mari kita bandingkan kedua cara melakukan pembelian tiket ini :
1. Kedua cara memudahkan kita untuk membeli tiket tanpa harus mengantri.
2. Kedua cara memungut "uang jasa" untuk ongkos sebagai pemasukan mereka.
3. Untuk Calo, kita bisa membeli barang yang sudah tidak ada di pasar legal, sementara untuk agen, kita hanya bisa membeli barang yang masih ada di pasaran.
4. Agen merupakan bentuk usaha yang legal, sementara calo merupakan bentuk usaha yang konon di-cap tidak legal.

Yang dapat saya tangkap di sini, perbedaan sebenarnya dari kedua jenis media di sini adalah, cara mereka mendapatkan tiket atau barang.
Untuk calo, mereka membeli barang sebelum ada penawar, kemudian menawarkan kepada yang membutuhkan.
Untuk Agen, mereka membeli barang setelah ada penawar.

Sekarang, kita perhatikan, apa yang salah di mata calo? Saya rasa tidak ada yang signifikan. Mereka hanya mengambil langkah "gambling". Sehingga wajar jika mereka perlu mengambil untung lebih besar. Kecuali, jika si calo berniat buruk. Maksud dari niat buruk di sini adalah, si Calo menjual dengan harga yang tidak masuk akal, dengan memanfaatkan "kebutuhan mendesak", sementara tiket di pasaran sudah habis. Merekas sanggup memonopoli pasra tiket.

Jadi, tidak ada bedanya antara Calo baik hati dan agen. Namun sayangnya, kita terlalu sering bertemu dengan calo yang tidak baik hati. Sehingga, kita telah menge-cap mereka sebagai kriminil.

Tapi, jika kita mau merenung lagi, calo itu sebenarnya tumbuh dari hal yang menjadi momok Indonesia, kemiskinan, kemudian kekurangan lapanangan pekerjaan. Sehingga, mereka "membuat" lapangan kerja mereka sendiri. Mungkin, sebenarnya mereka hanya ingin jadi agen perjalanan saja. Tapi, dikarenakan tidak adanya sumber penghasilan yang lain, dan merasa menjdai calo adalah hal yang "nyaman", mereka akan ketagihan dan akan terus melakukannya. Berubahlah calo baik hati menjadi calo yang tidak baik hati.

Sekali lagi, jangan percaya apa yang anda dengar, karena tidak ada sesuatu yang pasti benar, selain matematika dan agama tentunya. Termasuk tulisan ini.

6 komentar:

  1. sun, kelarangen kuwi
    tiket kahuripan bandung-jogja versi calo= Rp 30.000 lho...

    BalasHapus
  2. mosok? ah, tapi aku ra nyesel, daripada ngadek 9 jam... coklek sikilku

    BalasHapus
  3. ah iki gur ngelegalke le tuku seko calo. sing ngentekke tiket tempat duduk ki yo calo kuwi.

    BalasHapus
  4. yo ra yo... makane, kudu menjajal semua sudut pandang...

    BalasHapus
  5. nak tuku seko calo sakjane ki mengambil hak duduk orang lain

    BalasHapus
  6. nek ra tuku tiket, artine ra duwe hak duduk nggrit...

    BalasHapus