Selasa, 26 Januari 2010

Sebuah Solusi Permasalahan Umat Manusia

Apakah pernah anda terbayang, seandainya sedang bermain sepak bola di stadion megah, ditonton ribuan penonton di stadion dan jutaan lainnya via layar kaca, dan anda merasa harus kencing? Misalnya saja kayak kejadian ini :

kalo gak jelas, cek di TKP aja...

Selain kasus itu, masih ada lagi kasus-kasus semacam, pas sedang sidang TA kebelet, pas ujian kebelet, pas lagi jalan di Catwalk kebelet, atau pas keadaan penting lain dan sedang kebelet...

Nah, pas kemarin jalan-jalan sembari window shopping, walaupun cuman ke Indomar*t, ane dapet pencerahan buat masalah di atas. Ini gan :

















Masalah harga :
Kalau mau liat secara lebih jelas :


liat gan, ukuran M, jadi pasti ada ukuran L, XL, XXL, atau XXXL. Tapi mungkin itu diperuntukan yang merasa ber-kuncup besar.

Salah satu konsumennya gan, orang terkenal lho :



















kalo gak percaya cek ke TKP gan

iya gak?

Mungkin, ini bisa jadi salah satu solusi buat masalah-masalah kehidupan kita. Apalagi, produk2 ini udah tersebar secara waralaba alias franchise. Salah satu agennya, ada di deket Rektorat ITB alias Annex, strategis gak?

NB : ada cara pemakaian juga kok, jadi tenang aja buat pemula

Senin, 25 Januari 2010

Tradisi Saat Ganti Semester di Kampus Tercinta

Untuk kali ini, mau berbagi cerita kehidupan di ITB nih. Baru-baru ini, para mahasiswa mulai meninggalkan semester ganjil ke semester genap. Ada banyak cerita yang terjadi di masa-masa itu. Mungkin, saya juga mengalami. Tapi, mungkin facebook alias FB bisa bercerita lebih banyak...
Berikut, ada beberapa hasil crop-crop-an halaman facebook beberapa temen saya, (dengan identitas yang disamarkan, agar tidak dituntut pencemaran nama baik atau pembunuhan karakter). Monggo di cek....

Kata kunci : IP, Perwalian, DNA, daftar ulang, tolol

setelah melewati segala hantama ujian dan kroco-kroco nya, saat transisi semester, para pejuang di kampus mungil ini menanti hasil yang mereka tanam selama satu semester. Jelas, saat-saat penantian ini adalah momen yang tepat untuk mengganti status FB, seperti yang nampak berikut ini

Setelah hasil sudah keluar, ada yang puas seperti berikut ini :


ada juga yang super bersyukur dengan sangat mendalam

Tapi, ada juga yang merasa diperlakukan tidak adil, seperti sebuah scene dalam halaman FB yang lain...

Akhirnya, selalu saja mencoba menyalahkan orang lain. Memang sifat dasar manusia pada umumnya, tidak mau disalahkan. Contohnya :



Selain itu, IP ternyata juga bisa jadi sumber penghasilan, syarat beasiswa misalnya. Oleh karenanya, kalau IP gak masuk kriteria, hilang sudah harapan mengucurnya beasiswa itu, misal saja



santai aja gan....!!!

Setelah berurusan dengan semester lalu, kita mulai menginjak ke semester selanjutnya. Dan, syarat utama nan mutlak adalah, mengisi FRS, semacam rencana studi. Nah, sebagaimana manusia pada umumnya, jarang yang punya pendirian dan ingin nya ikut sana-sini, alias makhluk sosial. Jadi gini deh,



Biasanya untuk kasus mata kuliah pilihan, atau menuh-menuhin sks...

Selanjutnya, muncul kasus kayak gini,



padahal udah semester 3, masih aja...
Semua itu gara-gara





Namun, akhirnya, disetujui juga sama dosen wali. Walaupun, sempet ditolak juga.



Dah, itu secuil cerita dari kampus ane... Moga-moga gak ada yang tersinggung atau menyinggung... Yang jelas, ini bukan hoax atau konspirasi. Cuman pengen berbagi...

Selasa, 19 Januari 2010

Calo = Agen Perjalanan yang ilegal atau Agen perjalanan = Calo yang dilegalkan ?

Baru-baru ini saya melakukan perjalanan dari Bandung ke Jogja, dengan menggunakan kereta api ekonomi. Saat saya masuk stasiun Kiara Condong, saya dihampiri seseorang yang menawari saya tiket duduk. Yah, inilah yang biasa orang sebut Calo. Karena tiket yang tersedia tinggal tiket berdiri, maka saya putuskan untuk beli tiket dari calo tersebut. Hal ini saya ambil berdasarkan perhitungan. Dalam waktu yang cukup lama, saya harus berdiri dengan resiko kelelahan yang cukup besar dan selanjutnya resiko kehilangan barang  bawaan yang cukup besar juga. Jika dibandingkan dengan tiket yang lebih mahal 9 ribu, maka saya rasa itu cukup adil. Sekedar informasi, tiket normal dijual seharga 26 ribu, sementara si calo menjual 35 ribu. Sehingga, kalau dipersentasekan, 9ribu/26ribu = 35%

Kemudian saya teringat suatu hal. Dulu, saya juga pernah membeli tiket travel di sebuah agen perjalanan. Dan selisih yang saya harus bayar adalah 25 ribu. Dengan fasilitas hanya kemudahan membeli tiket. Walaupun tidak terlalu signifikan. Memang, kalau dipersentase, kenaikan harga dari agen tersebut sekitar 25ribu/150ribu = 16%.


Sekarang, mari kita bandingkan kedua cara melakukan pembelian tiket ini :
1. Kedua cara memudahkan kita untuk membeli tiket tanpa harus mengantri.
2. Kedua cara memungut "uang jasa" untuk ongkos sebagai pemasukan mereka.
3. Untuk Calo, kita bisa membeli barang yang sudah tidak ada di pasar legal, sementara untuk agen, kita hanya bisa membeli barang yang masih ada di pasaran.
4. Agen merupakan bentuk usaha yang legal, sementara calo merupakan bentuk usaha yang konon di-cap tidak legal.

Yang dapat saya tangkap di sini, perbedaan sebenarnya dari kedua jenis media di sini adalah, cara mereka mendapatkan tiket atau barang.
Untuk calo, mereka membeli barang sebelum ada penawar, kemudian menawarkan kepada yang membutuhkan.
Untuk Agen, mereka membeli barang setelah ada penawar.

Sekarang, kita perhatikan, apa yang salah di mata calo? Saya rasa tidak ada yang signifikan. Mereka hanya mengambil langkah "gambling". Sehingga wajar jika mereka perlu mengambil untung lebih besar. Kecuali, jika si calo berniat buruk. Maksud dari niat buruk di sini adalah, si Calo menjual dengan harga yang tidak masuk akal, dengan memanfaatkan "kebutuhan mendesak", sementara tiket di pasaran sudah habis. Merekas sanggup memonopoli pasra tiket.

Jadi, tidak ada bedanya antara Calo baik hati dan agen. Namun sayangnya, kita terlalu sering bertemu dengan calo yang tidak baik hati. Sehingga, kita telah menge-cap mereka sebagai kriminil.

Tapi, jika kita mau merenung lagi, calo itu sebenarnya tumbuh dari hal yang menjadi momok Indonesia, kemiskinan, kemudian kekurangan lapanangan pekerjaan. Sehingga, mereka "membuat" lapangan kerja mereka sendiri. Mungkin, sebenarnya mereka hanya ingin jadi agen perjalanan saja. Tapi, dikarenakan tidak adanya sumber penghasilan yang lain, dan merasa menjdai calo adalah hal yang "nyaman", mereka akan ketagihan dan akan terus melakukannya. Berubahlah calo baik hati menjadi calo yang tidak baik hati.

Sekali lagi, jangan percaya apa yang anda dengar, karena tidak ada sesuatu yang pasti benar, selain matematika dan agama tentunya. Termasuk tulisan ini.

Sabtu, 16 Januari 2010

hei anak ITB, yakin mau jadi entrepeneur ?

Prolog :
entrepeneur di sini, lebih mengarah ke bidang bisnis.

Sekarang ini, banyak sekali yang mendewa-dewakan yang namanya entrepeneur. Banyak yang bilang, kalau jadi entrepeneur kita akan lebih nyaman, bisa bantu orang lain dapet kerjaan, tidak disuruh-suruh, dan lain sebagainya. Oleh karena euforia itu, banyak sekali pelatihan-pelatihan mengenai entrepeneur ini, atau bisa juga diselipkan di sebuah diklat, kaderisasi, ceramah, dan lain sebagainya. Namun, apakah pilihan untuk menjadi entrepeneur ini sudah tepat ? Ini saya berikan beberapa pertimbangannya.
1. Seorang entrepeneur, harus memulai usahanya dari bawah. Dari nol. ini akan menjadi sebuah hal yang sulit. Apalagi untuk manusia-manusia bermental instan. Memang, jika kita memulai dari hal kecil, kita akan dapat feel-nya. Itu konon. Dan saya juga setuju. Namun, apakah kita bakal kuat memulai dari awal itu? apalagi di jaman krisis kepercayaan ini. Wedew...
2. Sebagai mahasiswa ITB, yang katanya paling mendewa se-Indonesia, kita dicekoki dengan banyak ilmu, dan itu sudah terfokuskan. Yang elektro ya belajar elektro, yang teknik kimia ya belajar teknik kimia, dan seterusnya. Nah, seandainya, banyak mahasiswa ITB jadi pebisnis, siapa coba yang mau menggantikan posisi-posisi yang seharusnya anak ITB tempati? Apalgi kalau kita bisnis di bidang yang semua orang bisa lakukan, makin dosa aja kita.
3. Kita ini, terlalu bermimpi mengawang-awang. Kita terlalu bermimpi se-akan-akan, semua hal di entrepeneur itu merupakan tantangan. Iya kalau bisa. Kita terlalu dicekoki dengan kisah sukses para pebisnis. Sekarang, coba hitung berapa kemungkinan sukses yang usahanya kita mulai dari nol? Coba liat pebisnis yang gagal lah minimal.

Mungkin itu hanya beberapa saja pertimbangan.

Nah, mengkritisi tanpa memberi solusi adalah sampah. Berikut saya berikan beberapa saran dari saya.
1. Jadilah entrepeneur di bidang yang anda geluti. Buat apa negara mensubsidi kita untuk kuliah di jurusan yang kita pilih, jika kita "berkhianat" dengan ilmu kita?
2. Jangan berbisnis sebagai distributor produk dari luar negeri. Hal ini sangat menyiksa produsen dari dalam negeri dan menghambat pertumbuhan ekonomi di dalam negeri. Labih parahnya, kita hanya akan jadi konsumen sepanjang masa.
3. Sebaiknya, jadilah produsen yang baik. ada banyak lahan usaha yang bisa kita kuasai di dalam negeri. Misal saja, pintu geser otomatis di mall. Asal tahu saja, pintu itu dihargai 40 juta. Dan, sebenarnya anak Indonesia mampu untuk membuatnya, apalagi anak ITB. Tapi, ironisnya, pintu semacam itu disikat orang Australia. Sekarang, siapa yang salah? Belum lagi masalah Freeport atau blok Cepu.
4. Walaupun tidak menganjurkan berbisnis ria, tapi jangan pula mengabdi pada perusahaan asing. Memang, hanya orang naif saja yang menolak bekerja dengan gaji luar biasa besarnya. Bekerja di perusahaan asing, boleh-boleh saja. Asal, jangan lama-lama. Mending, kerja selama 3-5 tahun, lalu keluar setelah menyerap ilmu. Di sini, ilmu kita akan ada gunanya. Nah, setelah keluar dari perusahaan, lakukan saran nomer satu di atas...

Jadi, jangan lah terlalu berfikir bahwa entrepeneur adalah jalan hidup paling hebat. Janganlah munafik. Hidup ini berat crut...

epilog : Jangan telan mentah-mentah semua informasi dan saran yang masuk ke kita. Berfikirlah sebaliknya. Jangan mudah percaya dan terpengaruh. Berlaku untuk postingan kali ini juga...