Minggu, 06 Desember 2009

How to think about something?

Sebenarnya, postingan kali ini tidak lebih dari sekedar luapan hati, (duh bahasanya), saya. Saya dapat ide buat nulis tentang ini, berawal dari ujian tengah semester, sebuat saja UTS, di jurusan saya. Cerita bermula dari hasil-hasil UTS yang keluar. Tidak terlalu bagus memang, yah minimal di bawah ekspektasi saya. Yang jadi perhatian saya adalah hasil UTS untuk tiga mata kuliah Sebelumnya,saya mohon maaf yang sebesar-besarnya kepada yang merasa tak berkenan. Saya sungguh menaruh hormat pada beliau-beliau ini.

Dari ketiga mata kuliah tersebut, saya tergetkan dapat perfect, bukan sekedar A. kenapa? Karena ketiga mata kuliah itu sudah terselami jauh sebelum masuk dunia perkuliahan. Namun, di mana bumi dipijak, disana lah langit dijunjung. Hasil dari ketiga mata kuliah itu, jauh dari sempurna, bahkan ada yang parah, jauh di bawah rata-rata, (spoiler, rata-rata 80an, saya 62). Kenapa hal ini bisa terjadi? Saya juga tak habis fikir. Setelah saya cross-check ke dosen yang menganugerahi nilai tersebut, ada beberapa hal yang menjadi alasan :

  1. Jawaban yang saya berikan tidak sesuai langkah di buku, padahal tidak ada keterangan di soal harus menggunakan metode A atau B. selain itu, alur jawaban saya logis, bahkan hasil akhir juga sama. Ada pendapat ? bukankah banyak jalan menuju Roma? Bahkan saat perkuliahan, dosen tersebut juga pernah mengatakan pepatah serupa.
  2. Yang ini, istilahnya, official
    solution-nya kurang global dan tidak mencakup semua kemungkinan. Hal ini juga aneh. Memang, yang menjawab secara global hanya 3 mahasiswa, dan yang selesai semua kasus, hanya satu, saya. Dan saya pun dapat nilai penuh. Tapi, yang saya agak kecewa, kenapa soal itu tidak dianulir? Kenapa saya minta dianulir? Karena 1 teman saya yang tidak selesai itu tidak dapat nilai penuh, kecil bahkan.
  3. Kesalahan sepele, pengurangan luar biasa. Dalam salah satu jawaban saya, ada hal kecil yang membuat nilai menjadi 5/25. Yaitu salah menginput nilai. Maksud saya, saya menulis P(A) = ½, tetapi di bagian bawah, saya menulis P(A) = 1/5. Memang, ini kesalahan fatal. Tapi, harusnya, pengurangan nilai-nya tidak se-lebay itu.
  4. Soal multi-tafsir. Sebenarnya, seandainya soal diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan sesui konvensi, kalimat "antara x sampai dengan y", berarti "x" dan "y" tidak masuk hitungan. Antara = "between". Tapi, ketika saya melakukan moderasi, beliau beralasan tidak mau mengganti, karena nanti perlu merubah semua nilai, dan menanyakan pada saya, kenapa tidak bertanya tentang maksud soal ke pengawas. Saya punya alasan kuat, karena itu sudah konvensi. Dan kenapa tidak ada keterangan dari pembuat soal. Selain itu, di lembar jawaban saya sudah saya berikan asumsi mengenai pengertian saya. Namun tetap saja tidak ter-iya-kan.
  5. Jawaban saya menurut penilai tidak selesai. Yang sebenarnya terjadi, jawaban saya sudah sampai pada fakta yang telah dibuktikan di perkuliahan. Apakah itu salah?
  6. TAMBAHAN. Seringkah kita menemukan dosen atau guru yang ngotot ketika melakukan kesalahan di saat mengajar dan dibenarkan oleh anak didiknya ?
Yang jadi focus saya adalah, "jawaban yang tidak mengikuti prosedur buku". Hal ini menurut saya, adalah sebuah penghambat kreativitas. Hal ini langsung terbukti ketika ujian ke dua dari salah satu mata kuliah tersebut. Demi memperoleh hasil yang sesuai, dan masih sangat jelas terpaku di otak saya, tentang "nasihat" : "ikutilah buku nak…", di kala ujian, yang ada di kepala saya hanyalah buku, buku, dan buku… tidak ada analisis yang seperti biasa saya lakukan. Padahal, soal-soal yang diberikan sangat jauh dari sukar. Dan akhirnya saya paham. Cara berfikir yang berubah-ubah tidak lah bagus. Seharusnya, kita bebaskan paradigma kita untuk bergerak, berlari, dan terbang bebas. Jikalau hanya mengejar "ABS" aka "asal bapak senang", sangat lah naïf. Tiap-tiap orang punya cara berfikir masing-masing. Dan menurut saya, itulah harta terbesar mereka. Tak ada gunanya meng-copy-paste cara berfikir orang lain. Seharusnya, tiap-tiap orang punya kemampuan dan cara berfikir yang seimbang. Selama tidak melenceng dari norma-norma yang berlaku.

Mungkin, hal ini lah yang menjadi salah satu akar masalah bangsa ini. Terlalu patuh pada yang lebih berkuasa. Entah benar atau tidak. Hanya Dia yang bisa menjawabnya.

Dari kejadian selama UTS tersebut hingga saya menge-post ini, ada banyak pelajaran yang bisa saya ambil. Diantaranya tentang prinsip hidup, kepuasan hati, dan saya menemukan target minimal yang harus saya capai selama di bangku perkuliahan ini : mengalahkan dosen mendewa. Harus saya akui, beliau sangat lah hebat di bidangnya. Beliau bahkan terkenal sampai ke universitas lain. Pengabdiannya sangat lah mendewa. Dan seterusnya.

Oke. Saya kira hanya segini saja, semoga saya bisa mengambil hikmahnya, dan siapa tahu ada yang baca dan terinspirasi, walaupun agak tidak mungkin.